Banyak negara mengalami kemajuan ekonomi dalam ukuran konvensional, namun masyarakatnya terperosok ke dalam krisis baru, yaitu kelebihan berat badan, kebiasaan merokok, penyakit diabetes, narkoba, depresi dan semua penyakit yang dibawa gaya hidup modern. Artinya, kemajuan ekonomi saja belum tentu membawa kebahagiaan yang sesungguhnya dan cenderung artifisial.Bangsa Indonesia sejak dahulu sudah memiliki konsep tentang kebahagiaan. Kita semua sangat fasih mengucapkan “Gemah Ripah Loh Jinawi” dan “Toto Tentrem Karta Raharja”, yang pada dasarnya berarti kekayaan bumi yang berlimpah, membawa tatanan kehidupan yang memberi ketentraman dan kesejahteraan. Di dalam sesanti tersebut terdapat pesan moral untuk menjaga lingkungan dan memelihara kehidupan, agar bumi tetap dapat memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi generasi yang akan datang.
Ada pula pepatah Melayu yang berbunyi “Isi perut selebar talam, isi dada selebar alam”, yang pada hakikatnya berupa pesan untuk lebih mementingkan kehidupan masyarakat dan orang lain, bukan kepentingan sendiri, karena sebanyak-banyaknya kekayaan yang kita miliki, makan sepiring saja sudah cukup. Bukankah ada hasil penelitian yang membuktikan bahwa kekayaan hanya membawa kebahagiaan kalau dimanfaatkan untuk orang lain?
Kenyataannya, semua petuah lama tersebut tidak kita jadikan pedoman. Kita cenderung mengejar laju pertumbuhan ekonomi dan rapor bagus kondisi ekonomi makro. Kita semua ikut larut dalam era baru yang sering disebut sebagai Anthropocene saat umat manusia yang berjumlah sekitar 7 miliar dengan kedahsyatan teknologi yang dimilikinya menjadi pemeran utama dalam merusak sistem dan kondisi fisik bumi, mengubah iklim melalui emisi karbon yang tak terkendali, merusak kualitas air dan udara dan memusnahkan biodiversity. Secara sadar kita merusak lingkungan melalui eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya dan lingkungan alam.
Kita hidup dalam planet yang memiliki sumber daya yang terbatas, namun melakukan ekploitasi jauh di atas daya dukung alam. Indonesia dinobatkan sebagai negara perusak hutan tercepat di dunia. Dari total luas hutan di Indonesia hanya tinggal sekitar 23 persen atau setara 43 juta hektare saja yang masih berupa hutan primer. Bahkan, karena mengejar pertumbuhan, kita mengabaikan keadilan. Akibatnya, walaupun pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, kesenjangan menjadi-jadi. Harta orang kaya tumbuh pesat, yang miskin tetap banyak jumlahnya. Tingkat pendapatan sebuah keluarga memang menjadi salah satu unsur dalam kepuasan hidup, walaupun secara terbatas dan bersifat dinamis. Namun, banyak hal yang juga sama penting seperti saling percaya dalam masyarakat, kesehatan mental dan jasmani, kualitas pemerintahan dan kesamaan hak dan kewajiban di depan hukum. Kenaikan pendapatan terutama di kalangan berpenghasilan rendah dapat meningkatkan kebahagiaan mereka. Namun, merekat kerja sama dan solidaritas komunitas seperti gotong royong juga dapat membuat bahagia, bahkan menjadi social safety net.
Kebersamaan dalam komunitas justru membawa lebih besar kebahagiaan di tengah masyarakat kaya yang tidak terlalu terpengaruh atas kenaikan pendapatan (ingat hukum “diminishing marginal utility of income”). Bukanlah kebetulan bahwa negara yang paling bahagia cenderung adalah negara dengan pendapatan tinggi, namun juga sekaligus memiliki derajat kesamaan sosial, saling percaya, dan kualitas pemerintahan yang baik.
Oleh karena pendapatan ekonomi bukan satu-satunya faktor untuk memperoleh kebahagiaan. Sangat masuk akal bila pemerintah menegakkan kebijakan untuk mengejar kebahagiaan masyarakat sejajar, bahkan di atas upaya menaikkan pendapatan nasional. egakkan kebijakan untuk mengejar kebahagiaan masyarakat sejajar, bahkan di atas upaya menaikkan pendapatan nasional.
Ada pula pepatah Melayu yang berbunyi “Isi perut selebar talam, isi dada selebar alam”, yang pada hakikatnya berupa pesan untuk lebih mementingkan kehidupan masyarakat dan orang lain, bukan kepentingan sendiri, karena sebanyak-banyaknya kekayaan yang kita miliki, makan sepiring saja sudah cukup. Bukankah ada hasil penelitian yang membuktikan bahwa kekayaan hanya membawa kebahagiaan kalau dimanfaatkan untuk orang lain?
Kenyataannya, semua petuah lama tersebut tidak kita jadikan pedoman. Kita cenderung mengejar laju pertumbuhan ekonomi dan rapor bagus kondisi ekonomi makro. Kita semua ikut larut dalam era baru yang sering disebut sebagai Anthropocene saat umat manusia yang berjumlah sekitar 7 miliar dengan kedahsyatan teknologi yang dimilikinya menjadi pemeran utama dalam merusak sistem dan kondisi fisik bumi, mengubah iklim melalui emisi karbon yang tak terkendali, merusak kualitas air dan udara dan memusnahkan biodiversity. Secara sadar kita merusak lingkungan melalui eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya dan lingkungan alam.
Kita hidup dalam planet yang memiliki sumber daya yang terbatas, namun melakukan ekploitasi jauh di atas daya dukung alam. Indonesia dinobatkan sebagai negara perusak hutan tercepat di dunia. Dari total luas hutan di Indonesia hanya tinggal sekitar 23 persen atau setara 43 juta hektare saja yang masih berupa hutan primer. Bahkan, karena mengejar pertumbuhan, kita mengabaikan keadilan. Akibatnya, walaupun pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, kesenjangan menjadi-jadi. Harta orang kaya tumbuh pesat, yang miskin tetap banyak jumlahnya. Tingkat pendapatan sebuah keluarga memang menjadi salah satu unsur dalam kepuasan hidup, walaupun secara terbatas dan bersifat dinamis. Namun, banyak hal yang juga sama penting seperti saling percaya dalam masyarakat, kesehatan mental dan jasmani, kualitas pemerintahan dan kesamaan hak dan kewajiban di depan hukum. Kenaikan pendapatan terutama di kalangan berpenghasilan rendah dapat meningkatkan kebahagiaan mereka. Namun, merekat kerja sama dan solidaritas komunitas seperti gotong royong juga dapat membuat bahagia, bahkan menjadi social safety net.
Kebersamaan dalam komunitas justru membawa lebih besar kebahagiaan di tengah masyarakat kaya yang tidak terlalu terpengaruh atas kenaikan pendapatan (ingat hukum “diminishing marginal utility of income”). Bukanlah kebetulan bahwa negara yang paling bahagia cenderung adalah negara dengan pendapatan tinggi, namun juga sekaligus memiliki derajat kesamaan sosial, saling percaya, dan kualitas pemerintahan yang baik.
Oleh karena pendapatan ekonomi bukan satu-satunya faktor untuk memperoleh kebahagiaan. Sangat masuk akal bila pemerintah menegakkan kebijakan untuk mengejar kebahagiaan masyarakat sejajar, bahkan di atas upaya menaikkan pendapatan nasional. egakkan kebijakan untuk mengejar kebahagiaan masyarakat sejajar, bahkan di atas upaya menaikkan pendapatan nasional.
0 komentar:
Posting Komentar